24 Mei, 2008

Kenaikan BBM, Haruskah di Pahami ?


Beberapa pekan ini masyarakat dan pemerintah seolah saling jawab-menjawab perihal Rencana Kenaikan BBM yang akan diputuskan oleh Pemerintah, masyarakat tentu kecewa, marah, dan ada juga yang apatis dan bahkan mendukung, sebaliknya pemerintah tetap yakin menaikkan BBM adalah sebagian dari jawaban terhadap kendala melambungnya harga Minyak Dunia dan ancaman Defisit Anggaran yang menghadang makro ekonomi Indonesia.

Wakil Presiden RI M.Jusuf Kalla dengan gaya-nya yang khas memberikan penjelasan rencana kenaikan BBM ini secara panjang lebar kepada media, Kalla menyatakan ini akan sama seperti meminum obat, pahit diawal-awalnya dan efeknya akan menyembuhkan sakit. Di Kota Kendari sudah sejak beberapa hari ini gelombang unjukraksa silih berganti membelah jalan-jalan di Kota Kendari menimbulkan kemacetan bahkan bentrok dengan polisi.

Belum ada penjelasan yang memuaskan dahaga kita tentang kondisi yang sesungguhnya, agar diingat Indonesia masih tercatat sebagai anggota dari sebuah kartel-pengekspor Minyak Dunia yang tersohor yang dikenal dengan OPEC. Faktanya Indonesia justru memenuhi kebutuhan dalam negerinya terhadap minyak dengan jalan meng-impornya bahkan menurut Kurtubi Indonesia sudah menjadi Net Importer.

Minyak dan Pertambangan adalah dua sektor yang atasnya pemerintah kita tidak dapat benar-benar merdeka memutuskan pengelolaanya, padahal dua sumberdaya yang tidak dapat diperharui ini nilainya (value gain) terus melangit, senasib dengan sektor regulasinya maka disektor korporasinya pun Indonesia babak belur dihajar oleh pasar bebas (free market), belum sempat menikmati re-turn atas melambungnya harga minyak dan hasil-hasil tambang lainya beberapa BUMN yang bergerak dibidang inipun harus bersiap-siap di Listing dalam rangka Public Offering di pasar modal.

Pemerintah punya argumentasi sakti, harga BBM dalam negeri adalah yang termurah di Seluruh dunia. Harga minyak dunia melaju lebih cepat dibandingkan asumsi harga beli dalam APBN kita, defisit anggaran belanja akan menekan pertumbuhan, melambatnya pertumbuhan akan mengganggu sektor produksi, dan akibatnya akan menekan income dan mendorong inflasi , jika tidak diatasi tekanan terhadap income ini akan memukul sektor riel dengan sangat kuat dan dapat mengakibtakan bangkrutnya sektor riel, ini adalah pintu masuk krisis ekonomi yang mengerikan, begitulah pemerintah berargumen.

Lalu rakyat bilang apa ? Wah, susah sekarang pegang uang 50.000 tidak ada nilainya. Mau apa-apa serba mahal, saya merasa miskin dibandingkan sebelumnya, jika sudah begini apa bedanya dengan krisis. Ketakutan pemerintah sesungguhnya tetap terjadi meskipun dalam skala dan percepatan yang berbeda, parahnya selain mahal kini minyak juga langka sudah begitu kita masih dihimbau untuk menggunakannya secara irit lagi, benar-benar sulit.

Tetapi walau bagaimanapun kita tidak boleh emosional menghadapi ini. Sebagaimana biasa masayarakat kita sudah mengerti harus berbuat apa dalam situasi seperti ini. Bahkan rakyat kita jauh lebih mengerti tentang situasi sesunggunya dibandingkan pemerintahnya, olehnya ketimbang berdemonstrasi diterik matahari menggangu lalulintas dan akhirnya menimbulkan kemacetan atau bahkan sampai harus bentrok dengan aparat lebih baik kita berdiri menatap fajar esok hari dengan semangat baru untuk bekerja dengan keras dan lebih giat sambil yah..berharap semoga EKONOMI INDONESIA tidak lagi menjadi hamba dari Pasar Dunia yang tengah berkuasa.

Tidak ada komentar: